Banjaran Pucung RT 04/07 – Pusat Informasi Warga, UMKM, dan Kegiatan Sosial Depok
Banjaran Pucung: Jejak Islam dan Peradaban Sebelum Kolonial
Banjaran Pucung menyimpan jejak sejarah Islam yang lebih tua dari Depok Lama. Kampung ini menjadi saksi peradaban Nusantara sebelum era kolonial, dari jejak ulama besar hingga makam pejuang anti-VOC.
BANJARAN PUCUNG
Sekretariat


Banjaran Pucung: Bukan Sekadar Kampung
Siapa sangka, Banjaran Pucung—kampung yang hari ini terletak di Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Kota Depok—ternyata menyimpan jejak peradaban Islam yang diduga sudah ada jauh sebelum wilayah Depok dikenal sebagai “kota.”
Sebelum Depok Lama menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda lewat Cornelis Chastelein, Banjaran Pucung sudah ramai dengan aktivitas dakwah, spiritualitas, dan pertanian rakyat. Bisa dibilang: kakak sepuhnya Depok Lama.
Dakwah Ki Aling Linggawuni: Ulama Sebelum Para Wali
Nama besar Ki Aling Linggawuni muncul dalam tradisi lisan dan beberapa catatan tua sebagai ulama yang berdakwah di wilayah Banjaran Pucung pada abad ke-15, jauh sebelum era kolonial menginjakkan kaki.
Menurut kisah turun-temurun, beliau adalah murid dari Maulana Magribi dan sempat menjadi guru dari Sunan Kalijaga. Tempat pertemuan mereka konon berada di kawasan yang kini dikenal sebagai Poncol (RT 03–07 Banjaran Pucung).
“Lemah Duwur”—sebuah titik spiritual yang dipercaya menjadi tempat perenungan dan dakwah awal Islam di kawasan timur Depok.
Jejak Perlawanan: Lie Suntek, Pejuang Melawan VOC
Tidak hanya jadi tempat dakwah, Banjaran Pucung juga menjadi saksi perjuangan melawan penjajahan. Di kampung ini terdapat makam Lie Suntek (alias Santri Bethot), cucu dari Raden Bagus Wanabaya, pejuang kerajaan Banten yang melawan VOC sekitar tahun 1682.
Makamnya berada di RT 03/RW 07, dan menjadi bagian penting dari warisan sejarah lokal yang belum banyak diketahui warga Depok sendiri.
Baca Juga :
Lebih Tua dari Depok Lama?
Depok Lama sebagai tanah partikelir baru dikenal sekitar tahun 1693 ketika dibeli oleh Cornelis Chastelein. Sedangkan Banjaran Pucung sudah aktif setidaknya sejak 1480-an, jika merujuk pada kisah Ki Aling Linggawuni.
Perbedaan ini menegaskan bahwa Banjaran Pucung lebih dulu berkembang secara kultural dan spiritual, jauh sebelum kolonialisme mengatur ulang tata ruang dan kepemilikan tanah di wilayah Depok.
Saatnya Warga Tahu dan Bangga
Banjaran Pucung bukan hanya lokasi di GPS, tapi tapak sejarah yang hidup. Dari dakwah Islam awal, perjuangan melawan kolonial, hingga perkembangan sosial warga yang masih berakar pada nilai gotong royong.
Kini saatnya kita—sebagai generasi baru—menghidupkan kembali narasi Banjaran Pucung. Jadikan sejarah ini bagian dari pendidikan warga, kegiatan RT, hingga program pemuda.
Karena kampung ini bukan hanya tua, tapi tangguh, berakar, dan penuh makna.


Banjaran Pucung Sebagai Pusat Komunitas Awal
Sebelum konsep kota modern hadir, Banjaran Pucung sudah punya sistem sosial yang rapi: pertanian, tempat ibadah, komunitas dakwah, hingga jalur distribusi barang lewat jalan-jalan kecil yang kini jadi gang dan blok.
Nama-nama seperti:
Cibayawak (dulu dikenal sebagai tempat mata air)
Lemah Duwur (tanah tinggi untuk semedi)
Pucung (mengacu pada pohon khas yang menjadi penanda kampung)
Nama-nama seperti Cibayawak, Lemah Duwur, dan Pucung—yang masing-masing memiliki arti historis dan kultural—menjadi bukti hidup bahwa Banjaran Pucung bukan kampung baru, tapi simpul tua peradaban Nusantara.
Informasi
© 2025 BanjaranPucung.my.id — Portal Informasi Warga Kampung Banjaran Pucung, Cilangkap, Tapos, Kota Depok.
Kontak
adm@banjaranpucung.my.id
087863870133
Sekretariat 04 © 2025. All rights reserved.